Epidemiologi dalam pengertiannya dewasa ini merupakan ilmu yang relatif masih baru. Namun demikian, sejarah epidemiologi tidak dapat dipisahkan dengan masa di mana manusia mulai mengenal penyakit menular. Walaupun pada saat itu sumber dan penyebab penyakit masih dianggap berasal dari kekuatan gaib dan roh jahat, tetapi cukup banyak usaha pada zaman purba yang dapat dianggap sebagai usaha untuk melawan epidemi. Umpamanya pada kira-kira 1000 tahun SM telah dikenal variolasi di Cina untuk melawan penyakit variola, sedangkan orang India pada saat tersebut selain menggunakan variolasi, juga telah mengenal bahwa penyakit pes erat hubungannya dengan tikus, sedangkan kusta telah diketahui mempunyai hubungan erat dengan kepadatan penduduk.
Sebenarnya epidemiologi sebagai sains, yang didasarkan pada pengamatan terhadap fenomena penyakit dalam masyarakat, oleh mereka yang meyakini bahwa keadaan tersebut merupakan suatu fenomena yang terjadi secara teratur (ordered phenomena) dan bukan sebagai suatu kejadian yang bertalian dengan kekuatan gaib, telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno seperti halnya dengan berbagai ilmu pengetahuan lain yang telah mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dewasa ini
Pada zaman kejayaan Yunani dan Romawi Kuno, telah dikenal adanya proses penularan penyakit pada masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan faktor lingkungan. Hal ini telah dikemukakan oleh Hippocrates (abad ke 5 SM) dalam tulisannya yang berjudul Epidemics serta dalam catatannya mengenai Airs, Waters, and Places, di mana beliau telah mempelajari masalah penyakit di masyarakat dan mencoba mengemukakan berbagai teori tentang hubungan sebab akibat terjadinya penyakit dalam masyarakat. Walaupun pada akhirnya teori tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi telah memberikan dasar pemikiran tentang adanya hubungan faktor lingkungan dengan kejadian penyakit, sehingga dapat dikatakan bahwa konsep tersebut adalah konsep epidemiologi yang pertama
Kemudian Galen mengemukakan suatu doktrin epidemiologi yang lebih logis dan konsisten dengan menekankan teori bahwa beradanya suatu penyakit pada kelompok penduduk tertentu dalam suatu jangka waktu tertentu (suatu generasi tertentu) sangat dipengaruhi oleh 3 faktor utama yakni:
(1) faktor atmosfer (the almospheric factor)
(2) faktor intemal (internal factor), dan
(3) faktor predisposisi (predisposing factor).
Apa yang dikemukakan Galen tidak banyak mengalami perubahan selanjutnya dan merupakan dasar pengembangan epidemiologi.
Pada abad ke-14 dan 15 Masehi, masalah epidemi penyakit dalam masyarakat semakin jelas melalui berbagai pengamatan peristiwa wabah penyakit pes dan cacar (variola) yang melanda sebagian besai penduduk dunia. Pada waktu itu, orang mulai menyadari bahwa sifat penularan penyakit dapat terjadi terutama karena adanya kontak dengan penderita. Dalam hal ini dikenal jasa Veronese Francastorius (1483-1553) serta Sydenham (1624-1687) yang secara luas telah mengemukakan tentang teori kontak dalam proses penularan penyakit. Dan berdasarkan teori kontak inilah dimulainya usaha isolasi dan karantina yang kemudian ternyata mempunyai peranan positif dalam usaha pencegahan penyakit menulat hingga saat ini.
Konsep tentang sifat kontagious dan penularan penyakit dalam musyarakat telah disadari dan dikenal sejak dahulu namun baru pada abad ke-17, teori tentang germ dan perannya dalam penularan penyakit pada masyarakat mulai dikembangkan. Dalam hal ini Sydenham dianggap sebagai pioner epidemiologi walaupun sebagian dari teorinya tidak lagi dapat diterima. Sydenham dengan teori serta berbagai perkiraannya terhadap kejadian epidemi, perjalanan epidemi dalam masyarakat serta perkiraan sifat epidemi, merupakan suatu model penggunaan metode epidemiologi.
Pada saat yang sama, John Graunt telah mengembangkan teori statistik vital yang sangat bermanfaat dalam bidang epidemiologi. Walaupun Graunt bukan seorang dokter, tetapi hasil karyanya sangat bermanfaat dalam bidang epidemiologi dengan menganalisis sebab kematian pada berbagai kejadian kematian di London dan mendapatkan berbagai perbedaan kejadian kematian antar jenis kelamin serta antara penduduk urban dan rural, maupun perbedaan berbagai musim tertenu. Di samping Graunt yang telah mengembangkan statistik Wiiliam Farr mengembangkan analisis sifat epidemi berdasarkan hukum matematika. W. Farr mengemukakan bahwa meningkatnya, menurunnya serta berakhirnya suatu epidemi mempunyai sifat sebagai fenomena yang berurutan (an orderly phenomenon) yang dewasa ini dianggap mengikuti hukum kurva normal.
Jakob Henle pada tahun 1840 mengemukakan teorinya tentang sifat epidemi dan endemi yang sangat erat hubungannya dengan fenomena biologis. Dalam tulisannya dikemukakan bahwa yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit adalah organisme yang hidup (living organism). Pendapat ini pada waktu yang sama telah mendorong berbagai ilmuan terkemuka seperti Robert Koch, Pasteur dan lainnya untuk menemukan mikro-organisme penyebab penyakit tertentu.
Sejak didapatkannya mikro-organisme sebagai penyebab penyakit, para ahli segera mencoba mencari berbagai penyebab khusus untuk penyakit tertentu. Pada awlnya mereka hanya melakukan pengamatan terhadap penderita perorangan, tetapi kemudian mulai berkembang ke arah hubungan sebab akibat yang dapat mengganggu keadaan normal masyarakat. Dari usaha pengembangan imunitas perorangan serta kekebalan pejamu, mulailah dikembangkan usaha pencegahan penyakit melalui vaksinasi. Perkembangan hubungan sebab akibat yang bersifat tunggal mulai dirasakan ketidakmampuannya dalam hal memberikan jawaban terhadap berbagai gangguan kesehatan masyarakat, sehingga mulai dipikirkan hubungan yang lebih kompleks dalam proses sebab terjadinya penyakit serta gangguan kesehatan lainnya.