Inteligensi
mahasiswa. Meskipun demikian bukan berarti bahwa inteligensi merupakan satu-satunya faktor yang menentukan prestasi belajar. Seperti telah diuraikan di atas, faktor lain yang ikut menentukan prestasi belajar adalah kondisi belajar, sumber belajar, metode belajar-mengajar, dan sebagainya.
Menurut hasil penelitian telah dibuktikan bahwa angka korelasi antara inteligensi dan prestasi belajar antara 0,50. Hal ini berarti bahwa kira-kira 25% dari keseluruhan varian prestasi belajar itu dijelaskan dari faktor inteligensi.
Teori-teori Inteligensi
Teori Spearman
Spearman dalam bukunya yang terkenal yaitu The Abilities of Man (1927) raengelompokkan teori-teori yang bersifat spekulatif/filsafat itu menjadi tiga kelompok, sebagai berikut:
- Inteligensi Umum
Ada tiga contoh konsep mengenai inteligensi umum yang sering disebut-sebut orang, yaitu pendapat Ebbinghaus, Terman, dan Thorndike. Ebbinghaus mendefinisikan inteligensi itu sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi; Terman memberi definisi inteligensi sebagai kemampuan untuk berfikir abstrak, sedangkan Thorndike memberi definisi inteligensi sebagai hal yang dapat dinilai sebagai kemampuan untuk menentukan ketidaklengkapan kemungkinan-kemungkinan dalam perjuangan hidup individu.
- Inteligensi Sebagai Kesatuan Daya-daya Jiwa yang Formal
Walaupun secara konsepsional teori psikologi itu telah ditinggalkan orang, namun pengaruh aliran tersebut sampai kini masih terasa. Konsep-konsep daya mengenai inteligensi ini dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari pengaruh psikologi daya itu. Jadi menurut teori ini inteligensi adalah kesatuan (integrasi) daya-daya jiwa yang khusus. Karena itu pengukuran inteligensi juga dapat ditempuh dengan cara mengukur daya-daya jiwa khusus itu, misalnya daya mengamati, daya mereproduksi, daya berpikir, dan sebagainya.
- Inteligensi Sebagai Taraf Umum Daya-daya Jiwa Khusus
Teori yang menganggap inteligensi sebagai taraf umum daya-daya khusus ini timbul dari keyakinan bahwa apa yang diselidiki dengan test inteligensi itu adalah inteligensi umum yang mewakili daya-daya khusus.
Teori-teori yang Bersifat Pragmatis
Dasar teori ini adalah apa yang dinyatakan oleh Boring yang kemudian dikutip oleh Leovinger (1945) bahwa inteligensi ialah hal yang ditest oleh test inteligensi. Tulisan Boring yang sering dikutip menyatakan antara lain:
"'Inteligence is what the test. There is narrow definition but it is the only point of departure for a rigotous discussion of the test. It would be better if the psychologists could have used some other and more technical term; , and no harm need result if we but remember that measurable inteligence is simply what the tests of inteligence test, until further scientific observation allows us to extent the definition'’'.
Pendapat Boring tersebut menyatakan bahwa inteligensi dapat diukur, sesuai dengan difinisinya. Pernyataan ini dapat dianalogikan dengan pengetahuan tentang listrik. Pengukuran terhadap listrik tergantung kepada definisi yang diberikan kepadanya, panasnya, alirannya dan sebagainya.
Jika hal ini benar maka perihal test itu sebenarnya orang tidak mendapatkan pengetahuan baru sama sekali, karena apa yang diukur itu sudah diketahui sebelumnya.
Teori Faktor
Teori ini dinamakan demikian sebenarnya beralasan. Pada kenyataannya di dalam menyelidiki dan mencari sifat hakikat inteligensi itu orang mempergunakan teknik analisis faktor, suatu teknik yang mula-mula dirintis oleh Spearman, dan yang kemudian cepat berkembang. Dengan dapat dimanfaatkannya jasa-jasa komputer dewasa ini maka pengaruh teori ini dalam lapangan psikologi juga makin besar. Ada beberapa teori yang tergolong dalam kelompok teori yang cukup terkenal dan menjadi dasar bagi pengembangan berbagai test psikologi, antara lain teori Spearman.
Dengan teknik analisis, faktor Spearman menemukan bahwa tiap tingkah laku manusia dimungkinkan oleh adanya dua faktor, yaitu:
- Faktor umum (generasi faktor, yang biasa dilambangkan dengan huruf g), dan
- Faktor khusus (spesial faktor, yang biasa dilambangkan dengan huruf s).
Faktor umum merupakan hal atau faktor yang mendasari segala tingkah laku orang. Jadi di dalam setiap tingkah laku yang dilakukan oleh individu, berfungsilah faktor itu. Sedangkan faktor khusus, yang dilambangkan dengan huruf s itu, hanya berfungsi pada tingkah laku-tingkah laku tertentu saja, tingkah laku yang sifatnya khusus. Jadi tiap tingkah laku dimungkinkan atau didasarkan oleh dua macam faktor, yaitu faktor g dan faktor s tertentu. Pada tingkah laku-tingkah laku yang berbeda berfungsi faktor g yang ditambah faktor s yang khusus untuk tingkah laku yang bersangkutan. Untuk menjelaskan keterangan di atas itu dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut:
- Tingkah laku l = T1 1 = g + S1
- Tingkah laku 2 = T1 2 = g + S2
- Tingkah laku 3 = T1 3 = g + S3
- Tingkah laku 4 = T1 4 = g+S4
- Tingkah laku 5=T1 5 = g+S5
Selanjutnya Spearman berpendapat bahwa faktor g itu berhubungan dengan keturunan, sedangkan faktor-faktor s itu dipengaruhi oleh pengalaman (lingkungan pendidikan). Teori Spearman ini yang biasanya disebut teori dwi-faktor yang kemudian besar pengaruhnya terhadap pengembangan teori-teori faktor yang lebih kemudian.
Teori-teori yang Bersifat Operasional
Apakah inteligensi itu? Jawaban atas pertanyaan ini dengan definisi yang disusun secara manasuka pada umumnya dianggap tidak memuaskan oleh ahli psikologi. Jalan inilah yang dipakai oleh mereka yang menggunakan cara pendapatan filsafati itu. Mereka tidak menentukan definisi mengenai inteligensi (jadi menentukan apakah inteligensi itu) dan berusaha mengukurnya, melainkan mereka menyusun test dan mengatakan, "Inteligensi adalah apa yang diukur oleh test ini". Tetapi pendekatan secara pragmatis ini juga tidak memuaskan, dan sebenarnya juga sekehendak (semau-maunya, arbitrary).
Selanjutnya para pengikut teori faktor kemudian mengikuti jalan pikiran demikian. Pertama-tama orang menyusun peta atau gambaran obyektif mengenai crganisasi mental, dengan cara menganalisa test-test yang telah ada; selanjutnya pada langkah yang kedua orang menyusun test yang murni mengenai kemampuan-kemampuan yang didefinisikan secara obyektif dalam analisis faktor.
Ahli-ahli yang mengikuti aliran operasionisme mengajukan keberatan terhadap pendapat pengikut teori faktor itu. yaitu yang berintikan definisi dan selanjutnya mengukurnya. Keberatan yang pertama ialah tindakan pengukuran itu sendiri sebenarnya secara implisit telah pula mendefinisikan. Keberatan kedua, dengan menganalisa hasil berbagai test ahli-ahli yang mengikuti teori faktor berpendapat bahwa mereka telah mengetahui faktor-faktor inteligensi itu; tetapi kata pengikut operasionisme ----- di manakah faktor itu? Cara yang demikian itu secara operasional tidak dapat diterima.
Teori-teori Fungsional
Teori atau konsep fungsional disusun atas dasar pemikiran atau analisis mengenai bagaimana berfungsinya inteligensi itu, dan kemudian dirumuskan sifat-sifat hakikat atau definisinya. Salah satu teori yang di susun atas dasar di atas ialah teori Binet, yang menyatakan bahwa sifat hakekat inteligensi itu ada tiga macam seperti dikemukakan berikut ini:
- Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang maka akan makin cakaplah dia membuat tujuan sendiri, punya inisiatif sendiri, tidak hanya menunggu perintah saja. Dan makin cerdas seseorang maka dia akan makin tetap pada tujuan, tidak mudah dibelokan oleh orang lain atau suasana iain.
- Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai tujuan. Jadi makin cerdas seseorang maka dia akan makin mudah menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya. Dia akan makin mudah menyesuaikan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dengan kondisi dan situasi yang dihadapinya. Dengan kata lain, makin cerdas seseorang, dia akan makin kritis.
- Kemampuan oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang dibuatnya. Makin cerdas seseorang, maka dia akan dapat belajar dari kesalahannya. Kesalahan yang pernah dibuatnya tidak akan mudah untuk terulang lagi.
Pengukuran Inteligensi
Pengukuran inteligensi sudah lama dimulai, yaitu sejak kira-kira tiga perempat abad yang lalu, yang selanjutnya dimulai oleh Francis Goltom, dan mencapai bentuk yang paling mutakhir pada test Binet.
Sifat umum usaha pengukuran inteligensi dengan berbagai test psikologi pada prinsipnya adalah membandingkan individu yang ditest dengan norma tertentu.
Pada umumnya yang dijadikan sebagai norma itu adalah inteligensi kelompok sebaya. Mula-mula kesebayaan itu ditentukan berdasarkan umur individu-individu lain yang jumlahnya besar sekali yang umumnya sebaya dengannya. Dari sini maka muncullah istilah Inteligence Quatient (IQ). Cara memperoleh IQ seseorang adalah de-ngan membandingkan (mencari ratio) antara umur kecerdasan (mental age) dengan umur kalender (cronological age) sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:
IQ= MA : CA
Cara memperoleh MA (Mental Age) adalah melalui hasil test inteligensi. Sedangkan Can (Cronological Age) diperoleh berdasarkan tanggal kelahiran individu yang diukur. Contoh penggunaan, Eny seorang anak berumur 8 tahun (umur berdasarkan kalender) atau CA. Setelah ditest dengan test inteligensi ternyata ia dapat mengerjakan soal-soal untuk anak yang berumur 10 tahun.
Jadi IQ Eny adalah 10/8 x 100 = 125.
Kesimpulan inteligensi Eny tinggi (di atas normal). Sebab anak-anak normal secara teori mempunyai inteligensi MA = CA (100). Hal ini berarti bahwa apabila dilakukan perbandingan antara MA dan CA seseorang, sebenarnya sama saja dengan dilakukan perbandingan antara MA orang tersebut dengan MA populasi kelompok sebayanya.
Akhir-akhir ini perbandingan antara MA dengan CA kurang jelas nampaknya. Para ahli cenderung membandingkan secara langsung antara skor-skor yang diperoleh oleh individu dengan skor kelompok normal. Dengan asumsi bahwa distribusi inteligensi di dalam suatu populasi adalah normal maka kemudian diproyeksikan ke dalam suatu kurva normal dan ditetapkan prosentase orang-orang yang tergolong superior, cerdas, normal, di bawah normal dan sebagainya.
Tingkat-tingkat kecerdasan:
- Di atas 150 : genius
- 140-149 : very superior
- 130-139 : superior
- 120-129 : above avarge
- 100-119 : normal
- 74-99 : debil
- 50-75 : embisil
- Di bawah 50 : idiot
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada inteligensi.
- Test inteligensi yang disusun di lingkungan kebudayaan tertentu (negara) tidak dapat digunakan begitu saja di lingkungan kebudayaan lain (di negara lain). Test intelegensi itu harus disesuaikan (diadaptasikan) terlebih dahulu.
- Test inteligensi tidak cocok untuk semua jenis tingkah laku. Test itu hanya cocok untuk tingkah laku rasional atas dasar tujuan. Max Weber membagi tingkah laku manusia menjadi empat macam, yakni:
- tingkah laku efektif,
- tingkah laku tradisional,
- tingkah laku rasional berdasarkan nilai-nilai,
- tingkah laku rasional berdasarkan tujuan.
- Test inteligensi hanya untuk kepribadian tertentu, yakni orang yang mempunyai sifat menerima tanpa kritik apa yang dirumuskan di dalam test dan mempunyai dorongan bersaing yang besar.
- Inteligensi tidak semata-mata tergantung pada dasar. Artinya, inteligensi tidak hanya tergantung pada pembawaan (dasar), tetapi dipengaruhi juga sosial ekonomi.
- Inteligensi seseorang tidak konstan.
- Intelegensi dapat berubah-ubah meskipun frekuensi perubahan IQ tersebut tidak besar.